Minggu, 16 Juli 2017

{Review Buku} Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia 1996-1999

Halo semuanya pada kesempatan kali ini saya akan mereview sebuah buku yang berjudul "Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia, 1996-1999" yang ditulis oleh Dr. Jemma Purdey yang selesai pada tahun 2002. Semoga review kali ini bermanfaat untuk kalian yang membacanya yaa :D maaf jika banyak kekurangan karena saya masih newbie hehehe....



Let's start.....
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
 
          Kisah ini dimulai dari seseorang bernama Lia. Ia memiliki sebuah keluarga. Mereka menganut salah satu dari lima agama yang ada di Indonesia. Keluarga Lia menggunakan bahasa Indonesia, bukan Mandarin di rumah mereka. Mereka adalah orang indonesia secara legal dan emosional. Akan tetapi, Mereka selalu diingatkan dengan ketionghoaan mereka, keasingan mereka. Di kantor pemerintahan daerah, kantor polisi, sekolah, rumah sakit dan dalam menangani hal-hal lain, mereka dibuat merasa berbeda rentang perlu perlindungan. Mereka tidak bisa menghindar dari menjadi 'Tionghoa' 
Lebih dari lima puluh tahun setelah Perang Dunia Kedua dan penandatanganan Deklarasi HAM PBB pada tahun 1948, roda prasangka, rasisme, kebencian dan kekerasan terus muncul di penjuru dunia. Organisasi internasional dan pemerintah tetap impoten dalam mencegah eskalasi sentimen-sentimen ini menjadi kekerasan dan pembunuhan seperti di Srebrenica, Timor Timur, Gujarat, dan Darfur. Situasi Tionghoa di Indonesia, meskipun tidak ada pertumpahan darah seperti dalam tragedi-tragedi di atas, menyingkap banyak manipulasi diskursus tentang kekerasan yang menormalkan dan dengan bagitu menyembunyikan penderitaan yang disebabkan oleh kekejaman seperti itu. Tidak adanya proses pencarian kebenaran dan kemungkinan untuk rekonsiliasi semakin menyangkal penderitaan para korban dan memaksa mereka untuk diam. Sebuah dialog untuk mencari kebenaran antara pelaku kejahatan, korban mereka dan institusi yang terlibat di dalam diskriminasi sistematika dan kekerasan massa adalah penting untuk mulai menghentikan roda ketidakpastian dengan ketidakamanan di mana minoritas di penjuru dunia.
            Prasangka dan anti Sinoisme dipertahankan melalui kebijakan dan sentimen di tingkat kekuasaan tertinggi di Indonesia. Bahasa Orde Baru selalu mempertanyakan posisi etnis Tionghoa di dalam masyarakat Indonesia, menciptakan sebuah konteks di mana tidak hanya pemerintah dan spesialis, tetapi juga massa dapat menunjukan kalau diskriminasi, prasangka dan tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas ini dapat dijustifikasi, normal dan hal tertentu, legal. Kenormalan kekerasan anti Tionghoa dalam situasi tertentu, baik selama Orde Baru maupun setelah pengunduran diri Soeharto hampir terhapuskan dari publik dan juga kesadaran akademik tentang antipati anti Tionghoa sebagai motivasi di balik kekerasan. Istilah ‘kekerasan anti Tionghoa’ dinetralisasi dan pelaku kekerasannya dikaruniai impunitas / bebas dari hukum. Hal ini menjadi mungkin karena kekerasan dipandang terbatas, tanpa korban atau penderitaan. Hal ini tidak saja membiarkan negara dan massa untuk menghindari tanggung jawab tindak kekerasan, tetapi juga mendorong orang Tionghoa sendiri menyangkal kekerasan terhadap mereka itu bermotivasi etnis.
           Kekerasan di pertengahan Mei 1998 tidak masuk dalam versi normal kekerasan anti Tionghoa. Hal tersebut lebih menonjol dibanding insiden anti Tionghoa kontemporer lainnya karena akal bulus politik yang mengelilinginya dan kebrutalan ekstrimnya. Di saat yang sama, kekerasan tersebut secara konsisten menunjukkan betapa mudahnya sejumlah elemen dalam masyarakat dipicu untuk melakukan kekerasan seperti ini. Bentuk rasial atau etnisnya menunjukkan sejauh mana kekerasan jenis ini diinstitusionalisasikan oleh razim Orde Baru sebagai bagian dari dinamika fungsinya. Saat sejumlah agen negara, formal atau informal, telah bergerak ke dalam wilayah untuk memberi perintah, masyarakat akan dengan mudah terdorong untuk mengikuti.
            Periode setelah Mei 1998 Indonesia menjadi tempat yang lebih bengis, konflik, sering kali berdarah, antara penduduk di Ambon, Ketapang dan Banyuwangi, juga benturan antara separatis dan negara, memicu genre akademik baru tentang Indonesia yang mencoba memahami kontek sejarah dan motivasi psikologis dari kekerasan ekstrim ini. Akan tetapi, kekerasan anti Tionghoa tidak secara jelas masuk ke dalam kategori kejadian ekstrim ini. Sebagai perbandingan, kejadian itu tampaknya hampir rutin. Selama Orde Baru dan setelah itu, kekerasan anti Tionghoa ditargetkan pada properti saja. Dengan pengecualian perkosaan Mei 1998, warga Tionghoa tidak dibunuh atau diserang oleh para penyerang. Hal ini tidak pernah, sepertinya, menjadi maksudnya.
            Penyerangan properti Tionghoa dengan demikian diturunkan kadarnya atau dipisahkan dalam kategori lain. Akan tetapi, orang tidak perlu menengok terlalu jauh dalam sejarah modern Indonesia untuk menemukan kasus-kasus kekerasan anti Tionghoa yang lebih brutal dalam bentuk pengusiran dan pembunuhan massal di Jawa Barat tahun 1959, Aceh 1966, dan Kalimantan Barat 1967 tetapi ini adalah jalan berbahaya. Dengan mencari dan memberi tekanan lebih pada episode kekerasan yang lebih berdarah akan melegitimasi diskursus berdasarkan ‘skala kengerian’. Diskursus relativis seperti itu akan menciptakan sebuah ruang di mana kekerasan etnis atau komunal tertentu akan diberikan bobot yang lebih berat dari yang lainnya dan, secara implisit, ‘menormalkan’ kekerasan tingkat rendah. Dapat diperdebatkan, di Indonesia normalisasi ini telah terjadi pada derajat tertentu. 
Kekerasan anti Tionghoa selama masa transisi setelah berakhirnya Orde Baru adalah bukti bahwa tidak saja prakondisi itu tetap ada dan nahwa habitus kekerasan atau sistem kekerasan masih digunakan dalam pelaksanaannya, tetapi juga bahwa sikap masyarakat yang lebih luas masih mendua dan, secara sadar atau tidak, meremehkan.
          Selain itu, kegagalan para korban Tionghoa untuk bercerita tentang penderitaan mereka telah membiarkan persepsi ini untuk berlanjut. Sebagai sebuah kelompok etnis, mereka dilihat sebagai tidak berperasaan dan secara ekonomi ulet. Orang Tionghoa sendiri mencari penjelasan lain tentang kekerasan, selain etnisitas mereka. Lagi pula banyak diantara mereka yang tidak memandang diri mereka sebagai etnis Tionghoa. Saat kekerasan dilabel ‘kekerasan etnis’, pemulihan dan penyembuhan minoritas kecil didalam masyarakat pada umumnya ini menjadi jauh lebih sulit, dibanding jika hal itu dipandang sebagai sebuah konsekuensi plot politik ekonomi. Hal-hal tersebut adalah elemen-elemen eksternal yang terkontrol dan saat diperbaiki, kehidupan akan kembali normal. Disisi lain, sebuah penjelasan tentang kekerasan berdasarkan etnisitas. Kemungkinan berarti ada keretakan yang ada didalam carita keterikan etnis Tionghoa dalam masyarakat Indonesia yang konvensional.
            Warga Solo dan pemimpin lokal mengungkit kenangan dari kekerasan kota itu sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa ada roda sejarah kekerasan maka dari itu mereka menganggap kekerasan 1998 ‘tidak terhindarkan’, dengan konsekuensi tidak ada satu orang yang bisa diminta pertanggungjawaban. Disituasi yang sama, Tionghoa Solo menggunakan rangkaian kenangan yang serupa untuk mengatakan bahwa kekerasan 1998 bukanlah anti Tionghoa. Etnisitas dihapus demi penjelasan tentang kekerasan negara, kriminalitas lokal dan kompetisi ekonomi sebagai penyebabnya. Dapat dikatakan pendapat ini kemungkinan berarti kekerasan anti Tionghoa akan terjadi lagi dimasa yang akan datang. Keengganan orang Tionghoa maupun pribumi untuk menghadapi komponen etnis dan rasial dalam kekerasan ini berarti keduanya telah bergerak untuk mengubah perilaku mereka. Mereka berada dibawah belas kasih ‘roda’ yang tak dapat dihindari itu.
            Untuk orang Tionghoa di seluruh Indonesia, sebuah proses rekonsiliasi akan pada derajat tertentu memerlukan pelibatan mereka dalam menciptakan kondisi yang mengarah pada prasangka dan kecemburuan ekonomi yang berkepanjangan di antara pribumi. Gerbang yang lebih besar mengelilingi rumah yang lebih besar hanya akan membuat proses itu makin sulit. Meskipun masih sedikit, terdapat jumlah tanda-tanda yang cukup menggembirakan kalau orang Tionghoa berusaha untuk memahami alasan-alasan di balik prasangka terhadap mereka dan berhubungan dengan kelompok-kelompok lain.
            Entah tindakan kekerasan terhadap Tionghoa itu dideskripsikan sebagai kekerasan anti Tionghoa, sebagai terorisme negara, premanisme atau dengan nama lain, mereka memiliki kesamaan yaitu jaminan impunitas / pembebasan dari hukuman untuk para pelaku kekerasan dan partisipasi mereka. Respons negara, massa dan etnis Tionghoa terhadap kekerasan tersebut adalah untuk menghapus komponen etnis ‘Negara yang melakukan’ atau mengesensialisasikannya ‘Mereka sendiri yang minta’. Tidak ada satupun dari representasi ini yang memberikan hasil analisis yang bisa secara memuaskan menjelaskan peran negara, penderitaan para korban atau motivasi para pelaku kekerasan atau massa yang bergabung dalam kekerasan massal, dan maka dari itu tidak bisa dijadikan landasan untuk keadilan atau rekonsiliasi.
        Penderitaan orang Tionghoa tidak berarti apa-apa jika dibandingklan dengan penderitaan dan frustasi yang dialami oleh mereka yang melakukan kekerasan, yang juga korban kesenjangan sosial, ketidakadilan dan penistaan agama. Korban beretnis Tionghoa tidak eksis dan maka dari itu tidak diberikan ekspresi. Arsitek dari ‘program’ untuk kontrol sosial ini melihat bahwa kesunyian ini sangat penting. Mengapa pula mereka merasa begitu terancam dengan Marthadinata, seorang yang dicurigai merupakan korban perkosaan Mei 1998. Ia dibunuh di rumahnya hanya beberapa hari sebelum ia harus bersaksi dihadapan pihak internasional.
            Namun, perkosaan Mei 1998 melampaui gagasan kekerasan terbatas. Cerita-cerita yang didengar melalui gosip, di majalah perempuan dan di internet mengenai pemerkosaan yang diderita perempuan ini, menekankan kebrutalannya. Interpretasi mengenai batas-batas kekerasan anti Tionghoa juga berarti bahwa kehilangan yang diderita ribuan keluarga Tionghoa selama Mei 1998 dan insiden, baik sebelum maupun sesudahnya diserap begitu saja ke dalam bawah sadar nasional. Berlawanan dengan karakter tidak terbatas dan tidaj terpercaya dari perkosaan tersebut yang secara tanpa alasan membiarkan penyangkalan kekerasan ini, diprovokasi atau tidak, adalah normal.
            Kelompok perempuan dan korban, serta sejumlah akademisi telah berusaha keras untuk menyumbangkan narasi para korban kepada representasi Mei 1998 dan kekerasan anti Tionghoa yang lebih luas. Akan tetapi, sebagai sebuah sumber ‘kebenaran’ mereka tetap berada di pinggiran. Banyak orang Indonesia percaya bahwa ingatan atas dosa Indonesia atas kemanusiaan adalah penting untuk membangun kembali dan berekonsiliasi dengan masa lalu. Adegan horor seperti penyiksaan, perkosaan massal, penculikan, pembunuhan, dan penghancuran properti, tetap disikapi keras kepala hingga sekarang di Indonesia.
           

Sejak kejatuhan Soeharto, banyak orang Tionghoa menyambut tantangan untuk berpartisipasi dalam ‘proyek bersama Indonesia’ sebagai hak mereka sebagai warganegara. Terlepas dari lobi terus-menerus keluarga korban Mei 1998 yang didukung oleh kelompok HAM, rekomendasi Tim Gabungan untuk mencabut semua undang-undang kewarganegaraan (UU No. 62 /1958). Amandemen ini akan menerapkan prinsip jus soli, dengan demikian secara otomatis memberikan kewarganegaraan kepada siapapun yang lahir di Indonesia. Saat dipublikasikan, amandemen tersebut masih dipertimbangkan.
Tidak adanya proses institusional untuk keadilan dan penyembuhan bagi korban kekerasan Mei 1998 telah menghalangi penyelesaian ‘masalah Cina’ di Indonesia baru yang demokratis. Ini adalah sebuah proses dimana para pelaku kekerasan menunjukkan penyesalan atas tindakan mereka dan negara membuat mereka bertanggung jawab atas tindak kriminal atas kemanusiaan.
Lebih dari sepuluh tahun telah berlalu, sudah jelas elite Indonesia tidak lagi memandang kekerasan Mei 1998 di Jakarta sebagai sebuah cerita nasional dengan akibat sangat besar, hal tersebut hanya menjadi noda dalam sejarah negeri dan penting secara politik di waktu itu.
Narasi kekerasan anti Tionghoa yang dihadirkan di sini mencoba untuk membuka pembicaraan mengenai penyebab dan implikasi dari kekerasan berkepanjangan terhadap minoritas etnis. Pertanyaan baru mengenai tingkat agen dan minat serta tantangan terhadap gagasan kalau kekerasan itu ‘terbatas’ dan tanpa korban sekiranya dapat membantu mendorong dialog ini ke arah yang baru dan produktif. Penjelasan mengenai sejauh mana representasi dan diskursus kekerasan justru mengekalkan roda prasangka dan rasa tidak aman seharusnya bisa membantu mereka yang sudah berupaya melawan rasisme dan demi kesetaraan dan HAM bagi semua bangsa Indonesia. Jika ternyata interprestasi kekerasan anti Tionghoa sebagai respons yang normal dan sah mengenai situasi dan emosi tertentu terus berlanjut, orang Tionghoa tidak akan menjadi korban satu-satunya.
 Ketakutan dan rasa tidak aman berkepanjangan di kalangan kelas bisnis ini akan menghalangi pemulihan ekonomi dan pembangunan Indonesia lebih lanjut. Pentingnya membunjuk bisnis Tionghoa agar kembali ke Indonesia telah diakui oleh Habibie di minggu-minggu awal kepresidenannya.

Tempat etnis Tionghoa dalam nasionalisme Indonesia telah dinegosiasikan secara kuat dari luar, tapi dengan hasil yang tidak memuaskan. Enam dekade setelah kemerdekaan dan dalam sebuah era baru demokrasi, etnis Tionghoa tetap menjadi warga kelas dua, dengan hak istimewa ekonomi tapi minim hak politik. Sebagai sesuatu yang mendasar dalam HAM, orang Tionghoa yang lahir dan tinggal di Indonesia berhak untuk menikmati kewarganegaraan penuh tanpa ambiguitas hukum. Sebuah proses rekonsiliasi diperlukan di mana semua warganegara dan institusi berpartisipasi. Orang Tionghoa sendiri bisa melakukan lebih banyak untuk mengidentifikasi harapan-harapan atas mereka dan memenuhi kewajiban mereka sebagai warganegara. Solusinya sepertinya mudah, tetapi hal itu memerlukan pertukaran ide yang baru mengenai hak dan kewajiban seluruh warga negara dan karakter alamiah Indonesia sendri.








Terima Kasih....
.
.
.
.
.
Kelompok CIBEN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar