Halo semuanya pada kesempatan kali ini saya akan mereview
sebuah buku yang berjudul "Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia,
1996-1999" yang ditulis oleh Dr. Jemma Purdey yang selesai pada tahun
2002. Semoga review kali ini bermanfaat untuk kalian yang membacanya yaa :D maaf jika banyak kekurangan karena saya masih newbie hehehe....
Let's start.....
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kisah ini dimulai dari seseorang bernama Lia. Ia memiliki
sebuah keluarga. Mereka menganut salah satu dari lima agama yang ada di
Indonesia. Keluarga Lia menggunakan bahasa Indonesia, bukan Mandarin di rumah
mereka. Mereka adalah orang indonesia secara legal dan emosional. Akan tetapi,
Mereka selalu diingatkan dengan ketionghoaan mereka, keasingan mereka. Di
kantor pemerintahan daerah, kantor polisi, sekolah, rumah sakit dan dalam
menangani hal-hal lain, mereka dibuat merasa berbeda rentang perlu
perlindungan. Mereka tidak bisa menghindar dari menjadi 'Tionghoa'
Lebih
dari lima puluh tahun setelah Perang Dunia Kedua dan penandatanganan Deklarasi
HAM PBB pada tahun 1948, roda prasangka, rasisme, kebencian dan kekerasan terus
muncul di penjuru dunia. Organisasi internasional dan pemerintah tetap impoten
dalam mencegah eskalasi sentimen-sentimen ini menjadi kekerasan dan pembunuhan
seperti di Srebrenica, Timor Timur, Gujarat, dan Darfur. Situasi Tionghoa di
Indonesia, meskipun tidak ada pertumpahan darah seperti dalam tragedi-tragedi
di atas, menyingkap banyak manipulasi diskursus tentang kekerasan yang
menormalkan dan dengan bagitu menyembunyikan penderitaan yang disebabkan oleh
kekejaman seperti itu. Tidak adanya proses pencarian kebenaran dan kemungkinan
untuk rekonsiliasi semakin menyangkal penderitaan para korban dan memaksa
mereka untuk diam. Sebuah dialog untuk mencari kebenaran antara pelaku
kejahatan, korban mereka dan institusi yang terlibat di dalam diskriminasi
sistematika dan kekerasan massa adalah penting untuk mulai menghentikan roda
ketidakpastian dengan ketidakamanan di mana minoritas di penjuru dunia.
Prasangka dan anti Sinoisme
dipertahankan melalui kebijakan dan sentimen di tingkat kekuasaan tertinggi di
Indonesia. Bahasa Orde Baru selalu mempertanyakan posisi etnis Tionghoa di
dalam masyarakat Indonesia, menciptakan sebuah konteks di mana tidak hanya
pemerintah dan spesialis, tetapi juga massa dapat menunjukan kalau
diskriminasi, prasangka dan tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas ini
dapat dijustifikasi, normal dan hal tertentu, legal. Kenormalan kekerasan anti
Tionghoa dalam situasi tertentu, baik selama Orde Baru maupun setelah
pengunduran diri Soeharto hampir terhapuskan dari publik dan juga kesadaran
akademik tentang antipati anti Tionghoa sebagai motivasi di balik kekerasan.
Istilah ‘kekerasan anti Tionghoa’ dinetralisasi dan pelaku kekerasannya
dikaruniai impunitas / bebas dari hukum. Hal ini menjadi mungkin karena
kekerasan dipandang terbatas, tanpa korban atau penderitaan. Hal ini tidak saja
membiarkan negara dan massa untuk menghindari tanggung jawab tindak kekerasan,
tetapi juga mendorong orang Tionghoa sendiri menyangkal kekerasan terhadap
mereka itu bermotivasi etnis.
Kekerasan di pertengahan Mei 1998
tidak masuk dalam versi normal kekerasan anti Tionghoa. Hal tersebut lebih
menonjol dibanding insiden anti Tionghoa kontemporer lainnya karena akal bulus
politik yang mengelilinginya dan kebrutalan ekstrimnya. Di saat yang sama,
kekerasan tersebut secara konsisten menunjukkan betapa mudahnya sejumlah elemen
dalam masyarakat dipicu untuk melakukan kekerasan seperti ini. Bentuk rasial
atau etnisnya menunjukkan sejauh mana kekerasan jenis ini
diinstitusionalisasikan oleh razim Orde Baru sebagai bagian dari dinamika
fungsinya. Saat sejumlah agen negara, formal atau informal, telah bergerak ke
dalam wilayah untuk memberi perintah, masyarakat akan dengan mudah terdorong
untuk mengikuti.
Periode setelah Mei 1998 Indonesia
menjadi tempat yang lebih bengis, konflik, sering kali berdarah, antara
penduduk di Ambon, Ketapang dan Banyuwangi, juga benturan antara separatis dan
negara, memicu genre akademik baru tentang Indonesia yang mencoba memahami
kontek sejarah dan motivasi psikologis dari kekerasan ekstrim ini. Akan tetapi,
kekerasan anti Tionghoa tidak secara jelas masuk ke dalam kategori kejadian
ekstrim ini. Sebagai perbandingan, kejadian itu tampaknya hampir rutin. Selama
Orde Baru dan setelah itu, kekerasan anti Tionghoa ditargetkan pada properti
saja. Dengan pengecualian perkosaan Mei 1998, warga Tionghoa tidak dibunuh atau
diserang oleh para penyerang. Hal ini tidak pernah, sepertinya, menjadi
maksudnya.
Penyerangan properti Tionghoa dengan
demikian diturunkan kadarnya atau dipisahkan dalam kategori lain. Akan tetapi,
orang tidak perlu menengok terlalu jauh dalam sejarah modern Indonesia untuk
menemukan kasus-kasus kekerasan anti Tionghoa yang lebih brutal dalam bentuk
pengusiran dan pembunuhan massal di Jawa Barat tahun 1959, Aceh 1966, dan
Kalimantan Barat 1967 tetapi ini adalah jalan berbahaya. Dengan mencari dan
memberi tekanan lebih pada episode kekerasan yang lebih berdarah akan
melegitimasi diskursus berdasarkan ‘skala kengerian’. Diskursus relativis
seperti itu akan menciptakan sebuah ruang di mana kekerasan etnis atau komunal
tertentu akan diberikan bobot yang lebih berat dari yang lainnya dan, secara
implisit, ‘menormalkan’ kekerasan tingkat rendah. Dapat diperdebatkan, di
Indonesia normalisasi ini telah terjadi pada derajat tertentu.
Kekerasan
anti Tionghoa selama masa transisi setelah berakhirnya Orde Baru adalah bukti
bahwa tidak saja prakondisi itu tetap ada dan nahwa habitus kekerasan atau
sistem kekerasan masih digunakan dalam pelaksanaannya, tetapi juga bahwa sikap
masyarakat yang lebih luas masih mendua dan, secara sadar atau tidak,
meremehkan.
Selain itu, kegagalan para korban Tionghoa
untuk bercerita tentang penderitaan mereka telah membiarkan persepsi ini untuk
berlanjut. Sebagai sebuah kelompok etnis, mereka dilihat sebagai tidak
berperasaan dan secara ekonomi ulet. Orang Tionghoa sendiri mencari penjelasan
lain tentang kekerasan, selain etnisitas mereka. Lagi pula banyak diantara
mereka yang tidak memandang diri mereka sebagai etnis Tionghoa. Saat kekerasan
dilabel ‘kekerasan etnis’, pemulihan dan penyembuhan minoritas kecil didalam
masyarakat pada umumnya ini menjadi jauh lebih sulit, dibanding jika hal itu
dipandang sebagai sebuah konsekuensi plot politik ekonomi. Hal-hal tersebut
adalah elemen-elemen eksternal yang terkontrol dan saat diperbaiki, kehidupan
akan kembali normal. Disisi lain, sebuah penjelasan tentang kekerasan
berdasarkan etnisitas. Kemungkinan berarti ada keretakan yang ada didalam
carita keterikan etnis Tionghoa dalam masyarakat Indonesia yang konvensional.
Warga Solo dan pemimpin lokal mengungkit kenangan dari kekerasan kota itu
sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa ada roda sejarah kekerasan maka dari itu
mereka menganggap kekerasan 1998 ‘tidak terhindarkan’, dengan konsekuensi tidak
ada satu orang yang bisa diminta pertanggungjawaban. Disituasi yang sama,
Tionghoa Solo menggunakan rangkaian kenangan yang serupa untuk mengatakan bahwa
kekerasan 1998 bukanlah anti Tionghoa. Etnisitas dihapus demi penjelasan
tentang kekerasan negara, kriminalitas lokal dan kompetisi ekonomi sebagai
penyebabnya. Dapat dikatakan pendapat ini kemungkinan berarti kekerasan anti
Tionghoa akan terjadi lagi dimasa yang akan datang. Keengganan orang Tionghoa
maupun pribumi untuk menghadapi komponen etnis dan rasial dalam kekerasan ini
berarti keduanya telah bergerak untuk mengubah perilaku mereka. Mereka berada
dibawah belas kasih ‘roda’ yang tak dapat dihindari itu.
Untuk orang Tionghoa di seluruh
Indonesia, sebuah proses rekonsiliasi akan pada derajat tertentu memerlukan
pelibatan mereka dalam menciptakan kondisi yang mengarah pada prasangka dan
kecemburuan ekonomi yang berkepanjangan di antara pribumi. Gerbang yang lebih
besar mengelilingi rumah yang lebih besar hanya akan membuat proses itu makin
sulit. Meskipun masih sedikit, terdapat jumlah tanda-tanda yang cukup
menggembirakan kalau orang Tionghoa berusaha untuk memahami alasan-alasan di
balik prasangka terhadap mereka dan berhubungan dengan kelompok-kelompok lain.
Entah tindakan kekerasan terhadap
Tionghoa itu dideskripsikan sebagai kekerasan anti Tionghoa, sebagai terorisme
negara, premanisme atau dengan nama lain, mereka memiliki kesamaan yaitu
jaminan impunitas / pembebasan dari hukuman untuk para pelaku kekerasan dan
partisipasi mereka. Respons negara, massa dan etnis Tionghoa terhadap kekerasan
tersebut adalah untuk menghapus komponen etnis ‘Negara yang melakukan’ atau
mengesensialisasikannya ‘Mereka sendiri yang minta’. Tidak ada satupun dari
representasi ini yang memberikan hasil analisis yang bisa secara memuaskan
menjelaskan peran negara, penderitaan para korban atau motivasi para pelaku
kekerasan atau massa yang bergabung dalam kekerasan massal, dan maka dari itu
tidak bisa dijadikan landasan untuk keadilan atau rekonsiliasi.
Penderitaan orang
Tionghoa tidak berarti apa-apa jika dibandingklan dengan penderitaan dan
frustasi yang dialami oleh mereka yang melakukan kekerasan, yang juga korban
kesenjangan sosial, ketidakadilan dan penistaan agama. Korban beretnis Tionghoa
tidak eksis dan maka dari itu tidak diberikan ekspresi. Arsitek dari ‘program’
untuk kontrol sosial ini melihat bahwa kesunyian ini sangat penting. Mengapa
pula mereka merasa begitu terancam dengan Marthadinata, seorang yang dicurigai
merupakan korban perkosaan Mei 1998. Ia dibunuh di rumahnya hanya beberapa hari
sebelum ia harus bersaksi dihadapan pihak internasional.
Namun, perkosaan Mei 1998 melampaui
gagasan kekerasan terbatas. Cerita-cerita yang didengar melalui gosip, di
majalah perempuan dan di internet mengenai pemerkosaan yang diderita perempuan
ini, menekankan kebrutalannya. Interpretasi mengenai batas-batas kekerasan anti
Tionghoa juga berarti bahwa kehilangan yang diderita ribuan keluarga Tionghoa
selama Mei 1998 dan insiden, baik sebelum maupun sesudahnya diserap begitu saja
ke dalam bawah sadar nasional. Berlawanan dengan karakter tidak terbatas dan
tidaj terpercaya dari perkosaan tersebut yang secara tanpa alasan membiarkan
penyangkalan kekerasan ini, diprovokasi atau tidak, adalah normal.
Kelompok perempuan dan korban, serta
sejumlah akademisi telah berusaha keras untuk menyumbangkan narasi para korban
kepada representasi Mei 1998 dan kekerasan anti Tionghoa yang lebih luas. Akan
tetapi, sebagai sebuah sumber ‘kebenaran’ mereka tetap berada di pinggiran.
Banyak orang Indonesia percaya bahwa ingatan atas dosa Indonesia atas
kemanusiaan adalah penting untuk membangun kembali dan berekonsiliasi dengan
masa lalu. Adegan horor seperti penyiksaan, perkosaan massal, penculikan,
pembunuhan, dan penghancuran properti, tetap disikapi keras kepala hingga
sekarang di Indonesia.
Sejak
kejatuhan Soeharto, banyak orang Tionghoa menyambut tantangan untuk
berpartisipasi dalam ‘proyek bersama Indonesia’ sebagai hak mereka sebagai
warganegara. Terlepas dari lobi terus-menerus keluarga korban Mei 1998 yang
didukung oleh kelompok HAM, rekomendasi Tim Gabungan untuk mencabut semua
undang-undang kewarganegaraan (UU No. 62 /1958). Amandemen ini akan menerapkan
prinsip jus soli, dengan demikian
secara otomatis memberikan kewarganegaraan kepada siapapun yang lahir di
Indonesia. Saat dipublikasikan, amandemen tersebut masih dipertimbangkan.
Tidak
adanya proses institusional untuk keadilan dan penyembuhan bagi korban
kekerasan Mei 1998 telah menghalangi penyelesaian ‘masalah Cina’ di Indonesia
baru yang demokratis. Ini adalah sebuah proses dimana para pelaku kekerasan
menunjukkan penyesalan atas tindakan mereka dan negara membuat mereka
bertanggung jawab atas tindak kriminal atas kemanusiaan.
Lebih
dari sepuluh tahun telah berlalu, sudah jelas elite Indonesia tidak lagi
memandang kekerasan Mei 1998 di Jakarta sebagai sebuah cerita nasional dengan
akibat sangat besar, hal tersebut hanya menjadi noda dalam sejarah negeri dan
penting secara politik di waktu itu.
Narasi
kekerasan anti Tionghoa yang dihadirkan di sini mencoba untuk membuka
pembicaraan mengenai penyebab dan implikasi dari kekerasan berkepanjangan
terhadap minoritas etnis. Pertanyaan baru mengenai tingkat agen dan minat serta
tantangan terhadap gagasan kalau kekerasan itu ‘terbatas’ dan tanpa korban
sekiranya dapat membantu mendorong dialog ini ke arah yang baru dan produktif.
Penjelasan mengenai sejauh mana representasi dan diskursus kekerasan justru
mengekalkan roda prasangka dan rasa tidak aman seharusnya bisa membantu mereka
yang sudah berupaya melawan rasisme dan demi kesetaraan dan HAM bagi semua
bangsa Indonesia. Jika ternyata interprestasi kekerasan anti Tionghoa sebagai
respons yang normal dan sah mengenai situasi dan emosi tertentu terus
berlanjut, orang Tionghoa tidak akan menjadi korban satu-satunya.
Ketakutan
dan rasa tidak aman berkepanjangan di kalangan kelas bisnis ini akan
menghalangi pemulihan ekonomi dan pembangunan Indonesia lebih lanjut.
Pentingnya membunjuk bisnis Tionghoa agar kembali ke Indonesia telah diakui
oleh Habibie di minggu-minggu awal kepresidenannya.
Tempat
etnis Tionghoa dalam nasionalisme Indonesia telah dinegosiasikan secara kuat
dari luar, tapi dengan hasil yang tidak memuaskan. Enam dekade setelah kemerdekaan
dan dalam sebuah era baru demokrasi, etnis Tionghoa tetap menjadi warga kelas
dua, dengan hak istimewa ekonomi tapi minim hak politik. Sebagai sesuatu yang
mendasar dalam HAM, orang Tionghoa yang lahir dan tinggal di Indonesia berhak
untuk menikmati kewarganegaraan penuh tanpa ambiguitas hukum. Sebuah proses
rekonsiliasi diperlukan di mana semua warganegara dan institusi berpartisipasi.
Orang Tionghoa sendiri bisa melakukan lebih banyak untuk mengidentifikasi
harapan-harapan atas mereka dan memenuhi kewajiban mereka sebagai warganegara.
Solusinya sepertinya mudah, tetapi hal itu memerlukan pertukaran ide yang baru
mengenai hak dan kewajiban seluruh warga negara dan karakter alamiah Indonesia
sendri.
Terima Kasih....
.
.
.
.
.
Kelompok CIBEN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar